Cari Blog Ini

GEMA pendidikan dasar gratis secara nasional telah berlangsung selama 7 bulan, terhitung dari bulan Januari 2009 sampai dengan Juli 2009. Masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah dengan sukacita menyambut program tersebut. Mengutif iklan di beberapa televisi tentang pendidikan gratis: “Walau bapaknya sopir angkot anaknya bisa jadi pilot…meskipun bapaknya tukang loper koran anaknya bisa jadi wartawan! Asalkan ada kemauan,” mengutif artikel Najamuddin Muhammad (Suara Merdeka, 3 Agustus 2009).

Iklan tersebut oleh sekelompok orang iseng diplesetkan menjadi: “Walau bapaknya sopir angkot anaknya tetap jadi asap knalpot… meskipun bapaknya tukang loper koran anaknya tetap jadi pengangguran.” Bahkan ada plesetan yang lebih mengerikan: “Walau bapaknya sopir angkot anaknya bisa jadi bandot… meskipun bapaknya tukang loper koran anaknya justru jadi gelandangan.” Itulah plesetan yang dilontarkan oleh orang-orang yang prustrasi karena tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang ia idam-idamkan.

Maka, jangan heran kelompok teror bom yaitu pengikut Noordin M. Top (gembong teror nomor wahid di tingkat Asia) tetap tumbuh subur di negeri ini. Mau bukti, coba kita cermati contoh kasus Ibrohim hanya sebagai perangkai bunga yang gajinya tidak sesuai yang diidam-idamkan, terbukti mau menjual motornya untuk biaya sekolah anaknya pada tahun pelajaran 2009/2010. Eko Joko Sarjono dan Air Setyawan hanya sebagai pekerja serabutan. Dani Dwi Permana menjadi prustrasi karena orangtua broken home dan lain-lain.

Untuk mengakhiri berkembangnya atau membungkam teror bom tidak hanya cukup pelakunya ditangkap dan dibunuh. Melainkan harus dibarengi tindakan nyata, diantaranya adalah pemerintah harus bersegera mampu menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, dengan diiringi mensukseskan program pendidikan dasar gratis, sekaligus pemerintah mampu menyediakan dana untuk kebutuhan pembangunan phisik dan non phisik memadai. Dalam arti pemerintah menyediakan fasilitas selalu meningkat sesuai skala prioritas masing-masing sekolah di setiap tahunnya tanpa berhenti. Dengan asumsi, sekelompok orang prustrasi karena menganggur berkurang. Bias secara otomatis mereka akan sulit menerima pengaruh teror bom, karena mudah mendapat lapangan kerja yang sepadan dengan bakat dan kemampuannya.

Mencermati contoh kasus di atas dan artikel Najamuddin Muhammad mengilustrasikan masyarakat berekonomi menengah ke bawah kurang mempercayai terhadap isi iklan tersebut atau terjadi persepsi yang menimbulkan asumsi kontraproduktif. Argumen saudara Najamuddin Muhammad ada benarnya tetapi tidak semuanya benar.

Pada kesempatan ini, penulis mencoba memaparkan fakta lain dengan tujuan dapat dicermati secara seksama, untuk dijadikan bahan banding oleh masyarakat luas umumnya dan para stakholder khususnya selaku pengambil kebijakan. Implikasinya pemerintah mampu mencerahkan masyarakat, bangsa dan negara, dalam rangka mencerdaskan anak bangsa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Budaya masyarakat kita sangatlah antusias jika dihadapkan pada kata-kata “gratis.” Berkait dengan iklan pendidikan gratis, masyarakat berasumsi bahwa pemerintah belum mampu menjabarkan persoalan mana yang digratiskan. Contoh kasus tertentu, sebagian masyarakat berasumsi bahwa pendidikan gratis sampai merambah ke pendidikan menengah atas. Padahal kalau kita mau cermat, yang dimaksud iklan pendidikan gratis adalah sebatas pada pendidikan dasar 9 tahun. Dana bantuan dari pemerintah berupa BOS (Bantuan Operasional Sekolah) masih jauh dari ideal atau minim.
Namun faktanya masyarakat di lapangan ada kecenderungan bahwa pendidikan gratis sampai dengan sekolah menengah atas. Itulah persoalan pemerintah, yang kurang terperinci dalam mengiklankan pendidikan dasar gratis tersebut.

Karya :Risky Rohmansyah